MENELISIK JEJAK TUMENGGUNG WIROSROYO
MENELISIK JEJAK TUMENGGUNG WIROSROYO
(MAKAM SENTONO KACEK - PACEKULON)
Kecamatan Pace adalah sebuah kecamatan di sebelah selatan Kabupaten Nganjuk yang berbatasan dengan Kabupaten Kediri. Di kecamatan ini, tepatnya di Desa Pace Kulon, terdapat kompleks makam kuno yang disebut Makam Sentono Kacek. Konon menurut tutur masyarakat, Makam Sentono Kacek diyakini sebagai kompleks pemakaman Adipati Pace dan sanak keluarganya.
Di kompleks Makam Sentono Kacek ini kita dapat menemukan makam seorang tokoh yang bernama Kanjeng Raden Tumenggung Hirosroyo. Ia dimakamkan berdampingan dengan istrinya, Nyi Hirosroyo. Menurut tutur masyarakat, Tumenggung Hirosroyo pernah membantu pemberontakan Trunojoyo melawan Sultan Mataram yang saat itu berkomplot dengan VOC. Namun cerita tutur tersebut sejauh ini belum didukung oleh naskah kuno manapun, sehingga kebenaran sejarahnya masih sangat lemah.
Dalam segala keterbatasan, saya mencoba menelusuri siapakah gerangan tokoh Tumenggung Hirosroyo yang dimakamkan di Sentono Kacek. Jika ditilik dari nama Hirosroyo kemungkinan besar nama tersebut berasal dari nama Irosroyo atau Wirosroyo. Dengan demikian, saya akhirnya terbimbing untuk menelusuri tokoh bernama Tumenggung Wirosroyo. Kajian ini barangkali belum tentu tepat, tapi minimal bisa membantu memperkaya kajian tentang sejarah Kecamatan Pace. Kajian yang berbasis pada referensi dan bukan sekedar cerita tutur.
Tokoh bernama Tumenggung Wirosroyo dapat ditemukan dalam sebuah naskah kuno yaitu Babad Kartasura yang ditulis oleh Raden Yasadipura I. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Tumenggung Wirosroyo adalah salah satu perwira perang dari Surabaya. Tokoh ini berperan dalam perang terbesar di Jawa Timur pada tahun 1717, yaitu perang antara gabungan Keraton Kartasura dan VOC melawan Kadipaten Surabaya. Pasukan dari Kadipaten Surabaya saat itu bersatu padu di bawah komando dua adipati bersaudara, yaitu Adipati Jayengrana dan Adipati Jayapuspita.
Tumenggung Wirosroyo bersama perwira perang yang lain maju ke medan laga dengan gagah berani. Ia memimpin pasukan Surabaya yang jumlahnya kalah jauh dibandingkan dengan jumlah pasukan musuh. Namun pasukan Surabaya berperang seperti kerasukan setan, sehingga musuh kewalahan dan tak mampu menembus barikade pasukan Surabaya. Perang berlangsung begitu sengit, memakan waktu hingga berhari-hari, dan banyak korban berguguran dari kedua kubu.
Pasukan VOC mulai frustasi dan meminta bantuan dari Batavia. Tambahan pasukan tersebut akhirnya berhasil membuat pasukan Surabaya semakin terjepit. Adipati Jayengrana tanpa sadar terkepung oleh banyak pasukan VOC. Ia pun dihujani dengan banyak tembakan peluru hingga akhirnya gugur dalam pertempuran. Sementara Adipati Jayapuspita bersama sisa pasukan Surabaya masih mencoba memberikan perlawanan, namun mereka semakin terdesak. Akhirnya Adipati Jayapuspita dan beberapa perwira perang yang berhasil selamat, termasuk Tumenggung Wirosroyo menyingkir keluar dari Surabaya dan bersembunyi di Japan (Mojokerto).
Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1719, Tumenggung Wirosroyo bersama-sama dengan Adipati Jayapuspita bergabung dengan Pangeran Blitar untuk memberontak kepada Keraton Kartasura. Mereka mendirikan keraton tandingan di Kartasekar. Namun pada tahun 1720, Adipati Jayapuspita jatuh sakit dan wafat, sehingga para perwira dari Surabaya kehilangan sosok pemimpin. Hal ini membuat kekuatan militer di Keraton Kartasekar semakin melemah.
Dalam kondisi tersebut, tiba-tiba gabungan pasukan Kartasura dan VOC yang dilengkapi dengan meriam-meriam modern menggempur Keraton Pangeran Blitar di Kartasekar. Pangeran Blitar dan para perwira serta pasukan yang ada di Kartasekar melarikan diri ke timur. Pangeran Blitar menyingkir ke Malang dan akhirnya wafat di sana. Sementara Tumenggung Wirosroyo dan pasukannya memilih menetap di daerah Pace.
Pada saat itu di Pace sebelah timur sudah ada pusat pemerintahan yang dipimpin oleh seorang adipati bernama Patrasuta. Untuk menghindari konflik dengan pemerintahan yang sudah lebih dulu ada, maka Tumenggung Wirosroyo memilih membuka lahan baru di sebelah barat. Kelak, wilayah di sebelah timur dikenal dengan sebutan Pace Wetan, sedangkan wilayah baru yang dibuka oleh Tumenggung Wirosroyo dikenal dengan sebutan Pace Kulon. Bekas pusat pemerintahan Tumenggung Wirosroyo diperkirakan berada di Dusun Sentono, Desa Pace Kulon.
Tidak diketahui secara pasti kapan Tumenggung Wirosroyo wafat. Ia dimakamkan berdampingan dengan istrinya di kompleks makam yang saat ini dikenal dengan sebutan Makam Sentono Kacek. Hal yang menarik dari Makam Sentono Kacek adalah adanya banyak sekali batu bata kuno berukuran besar yang mirip peninggalan era klasik. Batu-bata kuno tersebut oleh masyarakat disusun kembali layaknya seperti makam. Namun ada kemungkinan batu-bata kuno tersebut sebenarnya adalah bekas bangunan suci sejenis candi atau patirtan yang merupakan peninggalan dari jaman Majapahit atau bahkan jaman sebelumnya.
Referensi:
- Balai Pustaka. (1918). Serat Babad Panambangan.
- Francois Valentijn. (1726). Oud en Nieuw Oost-Indiën.
- M.C. Ricklefs (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300.
- Yasadipura I (1729 – 1803). Babad Kartasura.
- Observasi lapangan.